FARTER OA
LAPORAN
PRAKTIKUM FARMASETIKA TERAPAN
PERCOBAAN
VI
“OSTEOARTHRITIS”
OLEH
NAMA : HARFINA
NIM : O1A115024
KELAS : A
KELOMPOK : III
ASISTEN : SINAR AYU
FARIDA
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah:
1. Untuk
mengetahui dan memahami cara melakukan skrining resep pasien OA kondisi khusus
2. Untuk
mengetahui dan memahami cara pelayanan informasi obat dan konseling pasien OA kondisi khusus
B.
Landasan Teori
Osteoartritis (OA) berasal dari bahasa
Yunani yaitu osteo yang berarti tulang, arthro yang berarti sendi
dan itis yang berarti inflamasi. Osteoartritis adalah penyakit degeneratif
sendi yang bersifat kronik, berjalan progresif lambat, seringkali tidak
meradang atau hanya menyebabkan inflamasi ringan, dan ditandai dengan adanya
deteriorasi dan abrasi rawan sendi serta oleh 2 faktor
resiko yaitu: faktor resiko yang tidak dapat diubah dan faktor resiko yang dapat diubah. faktor resiko yang tidak dapat diubah yakni faktor genetik, jenis kelamin, suku/ras dan usia. Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah yakni obesitas, hormonal, aktivitas fisik berlebihan, kelemahan otot dan trauma/cedera (Kusuma dkk., 2014).
resiko yaitu: faktor resiko yang tidak dapat diubah dan faktor resiko yang dapat diubah. faktor resiko yang tidak dapat diubah yakni faktor genetik, jenis kelamin, suku/ras dan usia. Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah yakni obesitas, hormonal, aktivitas fisik berlebihan, kelemahan otot dan trauma/cedera (Kusuma dkk., 2014).
Osteoarthritis (OA) adalah penyakit yang paling umum dari penyakit rematik kronis dan merupakan penyebab utama nyeri dan kecacatan pada sebagian besar negara di seluruh dunia. Prevalensi OA meningkat seiring bertambahnya usia dan umumnya
mempengaruhi wanita lebih sering daripada pria.
Sebagian besar cacat OA berakibat pada pinggul dan lutut (Fransen dkk., 2011). Osteoartritis (OA) adalah
proses degeneratif dari tulang rawan sendi, melibatkan
sistem kekebalan tubuh, dan menghasilkan reaksi peradangan lokal dengan produksi sitokin pro-inflamasi dan metalloproteinase. OA lutut adalah
bentuk penyakit yang sering terjadi dengan prevalensi tinggi di negara - negara Asia, terutama di Indonesia Iran. Apa pun penyebab degenerasi kartilago (proses penuaan, trauma, berlebihan dan kelebihan
berat badan, predisposisi genetik, inflamasi
dan autoimun radang sendi, artritis
metabolik, arthritis infeksi, dll.) (Davatchi dkk., 2014).
Osteoartritis terjadi akibat kondrosit
(sel pembentuk proteoglikan dan kolagen pada rawan sendi) gagal dalam
memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler,
sehingga terjadi perubahan diameter dan orientasi serat kolagen yang mengubah
biomekanik dari tulang rawan, yang menjadikan tulang rawan sendi kehilangan
sifat kompresibilitasnya yang unik. Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan
pada patogenesis OA, terutama setelah terjadi sinovitis, yang menyebabkan nyeri
dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang mengalami peradangan akan
menghasilkan Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan berbagai sitokin yang
akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriksrawan sendi serta
mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan ikut
berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan enzim proteolitik (Pratiwi, 2015).
Berdasarkan patogenesis dari
osteoatritis dibedakan menjadi dua yaitu osteoartritis primer dan osteoartritis
sekunder. Osteoartritis primer disebut juga osteoartritis idiopatik yaitu
osteoartritis yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan
penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Osteoartritis
sekunder adalah osteoartritis yang didasari oleh adanya kelainan endokrin,
inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta
imobilisasi yang terlalu lama (Deu
dkk., 2014).
Prevalensi osteoarthritis pada lanjut usia
setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Menurut WHO (2004), prevalensi penderita
osteoarthritis di dunia pada tahun 2004 mencapai 151,4 juta jiwa dan 27,4 juta jiwa
berada di Asia Tenggara. Angka osteoarthritis total di Indonesia 34,3 juta
orang pada tahun 2002. Pada tahun 2007 mencapai 36,5 juta orang dan 40 % dari
populasi usia di atas 70 tahun menderita osteoarthritis dan 80 % mempunyai
keterbatasan gerak dalam berbagai derajat dari ringan sampai berat. Di Indonesia,
prevalensi osteoarthritis mencapai 5 % pada usia < 40 tahun, 30 % pada usia
40- 60 tahun, dan 65 % pada usia > 61 tahun serta osteoarthritis lutut
secara radiologis cukup tinggi yaitu mencapai 15,5 % pada pria dan 12,7 % pada
wanita (Masyhurrosyidi dkk., 2014).
Obesitas merupakan salah satu metabolic
syndrome, yang ditandai dengan Ideks Masa Tubuh (IMT) berlebih. Obesitas
sering didefinisikan sebagai kondisi abnormal karena kelebihan lemak yang
serius dalam jaringan adiposa sehingga mengganggu kesehatan. Perbedaan pada
individu yang mengalami obesitas tidak hanya pada jumlah lemak yang berlebih,
tapi juga pada distribusi regional lemak di dalam tubuh. Distribusi lemak dalam
tubuh disebabkan oleh berat badan yang mengakibatkan resiko yang berkaitan dengan
obesitas dan berbagai penyakit yang terkait. Secara garis besar obesitas dapat
dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama adalah obesitas jenis android atau
central atau tipe apel, ditandai dengan adanya penumpukan jaringan lemak
terutama didaerah perut. Jenis kedua adalah obesitas tipe ginecoid atau tipe
pear, peniumpukan jaringan lemak didaerah pantat (Arismunandar, 2015).
Jika obesitas adalah masalah pada penyakit osteoarthritis, maka akumulasi volume yang lebih besar adalah
dilakukan latihan mingguan. Berat badan lebih besar dari 5% atau pada tingkat pengurangan 0,24% per minggu selama 20 minggu dapat menyebabkan perbaikan yang signifikan dalam
kecacatan dan pengurangan beban lutut
pada penderita OA. Strategi non-farmakologis
konservatif dapat dilakukan terutama olahraga,
direkomendasikan oleh semua pengobatan klinis untuk mengurangi OA dan mendukung proses latihan ini. Latihan aerobik,
penguatan, akuatik dan Tai chi juga bermanfaat untuk menurunkan rasa nyeri dan berfungsi pada pasien OA (Bennell
dkk., 2011).
BAB
II
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Resep Asli
dr. Hanna S.
SIP 13/dkk/xi/2017/009
Jl. Badak No. 20 Kendari Sulawesi
Tenggara
Telp. 0407-123456789
|
Kendari, 23 April 2018
R/
HCT 50 mg No. X
ʃ 1 dd 1
Ibu profen 250 mg No X
ʃ 3 dd 1
Glibenklamid 5 mg No X
Pro : Tn. Jeki
Umur : 65 tahun
Alamat : Wua-wua
|
Kasus 2 :
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada
lutut kanan saat berjalan dengan jarak jauh, saat berlari, atau saat jongkok
dalam keadaan yang lama sejak beberapa bulan yang lalu. Pasien mengatakan bahwa
dimasa mudanya ia merupakan atlit lari dan terbiasa olahraga berat. Namun,
sejak beberapa tahun terakhir pasien mengatakan jarang bahkan tidak sama sekali
berolahraga hasil TTV yaitu Hasil TTV pasien yaitu TD : 160/95 mmHg, TB : 180 cm, suhu tubu 37,5 oC,
N : 80 x/menit, pernapasan : 20 x/menit, tinggi : 180 cm dan BB : 65 kg. Pasien
memiliki riwayat penyakit DM terkendali.
2. Resep Rekomendasi
APOTEK YUSUF FARMA
Jln. Betoambari, Telp :
+6282290106248
APA
: Harfina, S.Farm., Apt.
SIPA : O1A115024
|
Tgl : 23 April 2018
Dari : dr. Hanna S.
Tgl. Masuk :
-
Nama Pasien :
Tn. Jeki
|
Copy Resep
R/
HCT 12,5 mg
ʃ 1 dd 1
Paracetamol
500 mg
ʃ
3 dd 1
glibenklamid
2,5 mg
ʃ
3 dd 1
PCC
(Harfina)
|
B. Pembahasan
Standar pelayanan resep
di apotek meliputi skrining resep dan penyiapan obat. Skrining resep meliputi 3
aspek, yaitu: a) Persyaratan administrasi meliputi nama dokter, SIP, alamat
dokter, tanggal penulisan resep, nama, umur, berat badan, alamat pasien, tanda
tangan/paraf dokter, jenis obat, dosis, potensi/indikasi, cara pemakaian, dan
bentuk sediaan jelas, b) Kesesuaian farmasetis meliputi bentuk sediaan, dosis,
inkompatibiltas, stabilitas dan cara pemberian, c) Keseusaian klinis meliputi
adanya efek samping, alergi, dosis dan lama pemberian. Jika resep tidak jelas
langsung menghubungi dokter yang bersangkutan dan memberikan alternatif bila
perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan langsung.
Pasien yang terdapat pada resep bernama
Tn. Jeki umur 65 tahun datang kerumah sakit dengan keluhan nyeri pada lutut
kanan saat berjalan dengan jarak jauh, saat berlari atau saat jongkok dalam
keadaan yang lama. Hasil TTV pasien yaitu TD
: 160/95 mmHg, TB : 180 cm, suhu tubu 37,5 oC, N : 80
x/menit, pernapasan : 20 x/menit. Pasien ini memiliki riwayat penyakit DM
terkendali. Berdasarkan data dari Tn. Jeki tersebut, dokter mendiagnosis bahwa
pasien mengalami osteoarthritis, sehingga dokter memberikan beberapa obat
diantaranya ibuprofen 250 mg. selain mengalami osteoarthritis, pasien juga
mengalami hipertensi sehingga dokter memberikan amlodipin 5 mg untuk menurunkan
tekanan darah pasien.
Berdasarkan hasil skrining resep yang
dilakukan menunjukan bahwa terdapat beberapa obat pada resep asli yang
penggunaannya harus diganti yaitu ibuprofen haru diganti dengan paracetamol.
Hal ini karena ibuprofen termasuk golongan obat AINS yang penggunaannya tidak
bisa pada lanjut usia. Hal ini dapat menyebabkan pendarahan fatal pada lambung
atau usus dan dapat menimbulkan beberapa efek berbahaya bagi pasien lanjut
usia.
Hidroklorotiazid
adalah obat diuretik yang
sering digunakan untuk menangani tekanan darah tinggi dan pembengkakan
karena penimbunan cairan. Kegunaan lain termasuk diabetes insipidus, renal tubular asidosis,
dan untuk mengurangi risiko batu
ginjal pada orang-orang dengan tingkat kalsium urin
tinggi. Untuk tekanan darah tinggi obat ini sering direkomendasikan sebagai
pengobatan lini pertama. Hidroklorotiazid
dikonsumsi lewat mulut dan dapat dikombinasikan dengan obat
tekanan darah sebagai satu pil untuk
meningkatkan efektivitas. Hidroklorotiazid sering digunakan untuk
pengobatan hipertensi,
gagal jantung kongestif, gejala edema, diabetes insipidus, renal tubular asidosis.
Ia juga digunakan untuk pencegahan batu ginjal pada mereka yang memiliki
tingkat kalsium urin tinggi. Efek samping yang bisa ditimbulkan saat
mengonsumsi obat ini yaitu Hiperuricemia, kadar asam urat darah tinggi hiperglikemia,
gula darah tinggi, hiperlipidemia, kolesterol dan trigliserida tinggi, sakit
kepala, mual/muntah,
fotosensitivitas, berat badan bertambah. Diminum satu kali sehari setelah makan
pada saat malam hari.
Paracetamol
adalah salah satu obat yang masuk ke dalam golongan analgesik (pereda nyeri)
dan antipiretik (penurun demam). Obat ini dipakai untuk meredakan rasa sakit
ringan hingga menengah, serta menurunkan demam. Untuk orang dewasa, dianjurkan
untuk mengonsumsi paracetamol 1-2 tablet sebanyak 500 mg hingga 1 gram tiap 4-6
jam sekali dalam 24 jam. Sedangkan untuk anak-anak, sesuaikan dosisnya dengan
anjuran dokter. Obat ini bisa diminum sebelum atau sesudah makan. Jangan
mengonsumsi paracetamol melebihi dosis yang ditentukan, terlalu banyak
mengonsumsi obat ini bisa merusak organ hati. Paracetamol jarang menyebabkan efek samping,
namun ada beberapa yang mungkin terjadi, di antaranya Penurunan jumlah sel-sel
darah, sepeti sel darah putih atau trombosit. Muncul ruam, terjadi
pembengkakan, atau kesulitan bernapas karena alergi. Tekanan darah rendah
(hipotensi) dan jantung berdetak cepat (takikardi).Kerusakan pada hati dan
ginjal jika menggunakan obat ini secara Bisa menyebabkan overdosis jika
digunakan lebih dari 200 mg/kg, atau lebih dari 10 gram, dalam 24 jam.
Glibenclamide
adalah obat dengan fungsi untuk mengontrol kadar gula darah yang tinggi pada
penderita diabetes tipe 2. Glibenclamide digunakan bersama diet sesuai dan
program olahraga. Obat ini juga dapat digunakan bersama obat diabetes lain.
Mengontrol kadar gula darah Anda membantu mencegah kerusakan ginjal, kebutaan,
masalah saraf, kehilangan kaki, dan masalah fungsi seksual. Kontrol diabetes
yang sesuai juga dapat mengurangi risiko serangan jantung atau stroke.
Glibenclamide termasuk golongan sulfonylurea dengan dosis 2,5 mg yang
diperuntukan pada lansia. Ada beberapa efek samping yang ditimbulkan yaitu
Mual, nyeri perut, demam rendah, tidak napsu makan, urin gelap, BAB dempul,
sakit kuning (kulit atau mata menguning), Mual ringan, heartburn, merasa sesak,
nyeri sendi atau otot, penglihatan kabur atau, gatal atau ruam kulit ringan.
Obat ini dikonsumsi 3 kali sehari sesudah makan.
Selain melakukan pengobatan farmakologi,
pasien di sarankan pula untuk melakukan pengobatan non farmakologi. Pengobatan
non farmakologi yang diberikan yaitu melakukan program diet pada pasien yang
kelebihan berat badan, terapi fisik dengan pengobatan panas atau dingin dan
melakukan program olahraga untuk membantu menjaga dan mengembalikan rentang
pergerakan sendi dan mengurangi rasa sakit dan spasus otot, jika kesulitan
bergerak atau berjalan saat berolahraga maka bisa menggunakan alat bantu berupa
tongkat, heel cups, dan insole. Jika pasien memiliki riwayat
penyakit DM maka pasien harus mengurangi mengonsumsi makanan yang mengandung
banyak gula dan dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung nutrisi
tinggi, rendah lemak, dan rendah kalori/mengandung kalori secukupnya serta
dianjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat kompleks dan berserat tinggi, karena
akan lebih lambat diuraikan oleh pencernaan sehingga membantu menjaga level gula
darah. Karen pasien juga memiliki tekanan darah yang cukup tinggi sehingga
disarankan untuk mengurangi makanan yang mengandung banyak garam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Skrining
resep meliputi 3 hal yaitu persyaratan administratif dalam skrining resep
misalnya kelengkapan nama, alamat dokter dan tanggalpenulisan resep, kesesuaian
farmasetik dalam skrining resep misalnya kesesuaian bentuk sediaan obat dan
dosis obat dan pertimbangan klinis dalam skrining resep misalnya adanya
alergi,efek samping dan interaksi obat.
2.
Berdasarkan uraian di atas maka
pengobatan yang diberikan kepada pasien untuk mengobati osteoarthritis pasien
diberikan ibuprofen 400 mg 3 kali sehari bersamaan dengan makanan, obat untuk mengatasi hipertensi
diberikan amlodipin 5 mg 1 kali sehari setelah makan, dan untuk DMnya diberikan
obat metformin 500 mg 3 kali sehari setelah makan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arismunandar R., 2015, The Relations Between Obesity And Osteoarthritis
Knee In Elderly Patients, J Majority,
Vol. 4 (5).
Bennell
K.L. dan Rana S.H., 2011, A review of the clinical evidence for exercise in
osteoarthritis of the hip and knee, Journal
of Science and Medicine in Sport, Vol
14.
Davatchi F., Bahar S.A., Mandana M., Farhad S., dan Behrooz N., Mesenchymal
stem cell therapy for knee osteoarthritis Preliminary report of four patients, International Journal of Rheumatic Diseases,
Vol. 14.
Deu R.P., Th I.M., Dan Engeline A., 2014, Gambaran Kejadian Nyeri Lutut
Dengan Kecurigaan Osteoartritis Lutut Pada Perawat Di Poliklinik Rawat Jalan
Blu Rsup. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado, Jurnal E-Clinic (Ecl), Vol. 2 (1).
Fransen M., et
al., 2011, The Epidemiology Of Osteoarthritis In Asia, International Journal Of Rheumatic Diseases.
Kusuma W., Engeline A., Dan L. S. Angliadi, 2014, Profil Penderita
Osteoartritis Lutut Dengan Obesitas Di Instalasi Rehabilitasi Medik Blu Rsup
Prof. Dr. R. D Kandou Manado, Jurnal E-Clinic (Ecl), Vol. 2 (3).
Masyhurrosyidi H., Kumboyono, dan Yulian W.U., 2014, Pengaruh Kompres
Hangat Rebusan Jahe Terhadap Tingkat Nyeri Subakut dan Kronis pada Lanjut Usia
dengan Osteoarthtritis Lutut di Puskesmas Arjuna Kecamatan Klojen Malang Jawa
Timur, Majalah Kesehatan FKUB, Vol.
1 (1).
Pratiwi A.I.,
2015, Diagnosis And
Treatment Osteoarthritis, J Majority,
Vol. 4 (4).
Komentar
Posting Komentar